Breaking News

Tantiem BUMN Disorot Prabowo: “Masa Rapat Sebulan Sekali, Dapat Rp40 Miliar Setahun?”

Presiden Prabowo Subianto 

D'On, Jakarta –
Istilah tantiem mendadak ramai dibicarakan publik setelah Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyinggung praktik pemberian tantiem kepada jajaran direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam pidatonya saat menyampaikan Rancangan Undang-Undang APBN 2026 dan Nota Keuangan di Sidang Paripurna DPR RI, Jumat (15/8/2025), Prabowo dengan tegas mempertanyakan logika pemberian tantiem yang dianggap berlebihan.

“Saudara-saudara, masa ada Komisaris yang rapat sebulan sekali, tantiemnya Rp40 miliar setahun,” ungkap Prabowo dengan nada heran di hadapan anggota dewan.

Pernyataan itu sontak mengguncang wacana publik. Pasalnya, selama ini tantiem dipandang sebagai bentuk penghargaan atas kinerja dan pencapaian perusahaan. Namun, fakta bahwa ada komisaris BUMN yang disebut menerima puluhan miliar hanya dengan intensitas rapat rendah memunculkan pertanyaan besar: apakah sistem ini masih relevan, atau justru menjadi celah pemborosan keuangan negara?

Apa Itu Tantiem?

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tantiem adalah bagian keuntungan perusahaan yang dihadiahkan kepada karyawan. Dalam praktiknya di Indonesia, tantiem umumnya diberikan sebagai persentase dari laba bersih setelah pajak, dengan penetapan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Dasar hukum tantiem diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), khususnya Pasal 70 ayat (1). Selain itu, mekanisme pemberian tantiem di lingkungan BUMN dijelaskan lebih rinci dalam sejumlah regulasi Kementerian BUMN.

Aturan Main Tantiem di BUMN

Dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/2009, tantiem didefinisikan sebagai penghasilan berupa penghargaan yang diberikan setiap tahun kepada anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas, apabila perusahaan memperoleh laba. Uniknya, aturan ini juga memungkinkan pemberian tantiem meskipun perusahaan masih mengalami kerugian, asalkan terdapat peningkatan kinerja signifikan.

Pasal 2 aturan tersebut menegaskan bahwa penetapan tantiem bersifat variabel, bergantung pada faktor pencapaian target, tingkat kesehatan perusahaan, kemampuan keuangan, dan merit system. Bahkan, Pasal 30 memberi batasan: tantiem hanya bisa diberikan jika kinerja perusahaan mencapai di atas 70% dari Key Performance Indicator (KPI) yang ditetapkan.

Komposisi besaran tantiem pun diatur jelas:

  • Direktur Utama: 100%
  • Anggota Direksi: 90% dari Dirut
  • Komisaris Utama/Ketua Dewan Pengawas: 40% dari Dirut
  • Anggota Komisaris/Dewan Pengawas: 36% dari Dirut

Regulasi Terbaru: Tantiem BUMN 2023

Ketentuan mengenai tantiem diperbarui melalui Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023. Dalam aturan ini, syarat pemberian tantiem lebih ketat: hanya diberikan jika perusahaan mencetak laba dan tidak mengalami akumulasi kerugian.

Selain itu, ada klausul tambahan untuk komisaris yang merangkap jabatan di badan usaha lain. Kehadiran rapat minimal 7% dalam setahun menjadi syarat untuk tetap berhak menerima tantiem. Hal ini dimaksudkan agar pemberian penghargaan benar-benar mencerminkan kontribusi nyata, bukan sekadar formalitas.

Komposisi besaran tantiem menurut regulasi 2023 lebih variatif:

  • Wakil Direktur Utama: 90% dari Dirut
  • Anggota Direksi: 85% dari Dirut
  • Komisaris Utama/Ketua Dewan Pengawas: 45% dari Dirut
  • Wakil Komisaris Utama/Wakil Ketua Dewan Pengawas: 42,5% dari Dirut
  • Anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas: 90% dari Komisaris Utama

Namun, pada Pasal 106 ayat (2) disebutkan, RUPS atau Menteri tetap memiliki kewenangan untuk menyesuaikan persentase tantiem demi prinsip keadilan, kewajaran, dan kemampuan keuangan perusahaan.

Sorotan Publik: Antara Kinerja dan Keadilan

Polemik tantiem tidak bisa dilepaskan dari persepsi publik tentang transparansi dan akuntabilitas BUMN. Di satu sisi, tantiem dipandang sebagai insentif wajar bagi direksi dan komisaris yang berhasil membawa perusahaan meraih laba besar. Namun di sisi lain, angka fantastis yang beredar—seperti Rp40 miliar untuk seorang komisaris—menjadi ironi ketika masih banyak masyarakat menghadapi kesenjangan ekonomi.

Ekonom menilai, pemberian tantiem seharusnya berbasis kinerja nyata, bukan sekadar formalitas kehadiran rapat. Transparansi penilaian KPI serta pengawasan dari pemegang saham negara mutlak diperlukan agar tantiem tidak berubah menjadi “bonus mewah” yang tidak sebanding dengan kontribusi.

Langkah Prabowo: Reformasi Tantiem dan Komisaris BUMN

Presiden Prabowo telah menginstruksikan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk segera membereskan tata kelola BUMN, termasuk pemangkasan jumlah komisaris serta penghapusan skema tantiem yang dinilai bermasalah. Langkah ini diproyeksikan sebagai bagian dari reformasi besar-besaran di tubuh BUMN agar lebih efisien, profesional, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Jika terealisasi, kebijakan ini akan menjadi titik balik penting dalam tata kelola perusahaan negara, sekaligus jawaban atas kritik publik terhadap praktik “bonus” pejabat BUMN yang selama ini dinilai berlebihan.

Debat mengenai tantiem BUMN tidak hanya menyangkut angka fantastis yang diterima segelintir orang, melainkan menyangkut prinsip keadilan, transparansi, dan tata kelola yang sehat. Pernyataan Presiden Prabowo berhasil membuka tabir yang selama ini jarang disentuh publik. Kini, bola berada di tangan pemerintah, DPR, dan Kementerian BUMN untuk memastikan bahwa setiap rupiah keuntungan BUMN benar-benar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk segelintir pejabat di ruang rapat.

(Mond)

#Tantiem #BUMN #Nasional