Breaking News

Bejat! Guru Kaligrafi Pesantren Cabuli 7 Santri Laki-Laki, Polisi Temukan Bukti Mengejutkan

Ilustrasi (Foto: Ist

D'On, Kutai Kartanegara
– Dunia pendidikan dan keagamaan di Kalimantan Timur tercoreng oleh kasus pelecehan seksual yang mencengangkan. Seorang guru kaligrafi di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Tenggarong Seberang, berinisial MA, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor Kutai Kartanegara (Polres Kukar). Pria yang selama ini dihormati karena keahliannya menulis kaligrafi itu diduga telah mencabuli tujuh santri laki-laki, sebagian besar masih di bawah umur.

Kasus kelam ini terungkap setelah salah satu orangtua korban tak kuasa menahan kegeraman. Ia kemudian meminta bantuan Tim Tanggap Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRCPPA) Kalimantan Timur untuk melapor ke polisi. Dari laporan tersebut, penyidik bergerak cepat, memeriksa 13 saksi dan mengamankan sejumlah barang bukti yang membuat publik terperangah.

Barang bukti itu antara lain: celana dalam, selimut, satu unit telepon genggam berisi rekaman video cabul, hingga kartu ucapan bernada mesra sesama jenis. Temuan itu menguatkan dugaan bahwa aksi bejat sang guru tidak sekadar sekali, melainkan berlangsung dalam kurun waktu tertentu dengan pola yang sama.

“Dari hasil pemeriksaan saksi dan barang bukti, kami menetapkan MA sebagai tersangka,” tegas Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kukar, AKP Ecky, Jumat (15/8/2025).

Modus Licik: Memanggil Korban ke Ruang Kaligrafi Tengah Malam

Polisi mengungkap, aksi pencabulan terjadi di sebuah ruang galeri yang biasa digunakan untuk menulis kaligrafi di lingkungan pesantren. Ironisnya, tempat yang seharusnya menjadi ruang edukasi seni Islami itu malah dijadikan lokasi kejahatan seksual.

Menurut keterangan saksi, perbuatan cabul dilakukan sekitar pukul 23.00 WIB. Pelaku memanggil asistennya atau santri yang ditunjuk ke ruangan, kemudian menggiring korban dan melancarkan aksinya. Korban yang dipilih umumnya berwajah rupawan, sebagaimana diungkap Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Kukar, Ipda Irma.

“Seluruh korban adalah laki-laki. Sampai saat ini tidak ditemukan adanya korban perempuan,” ujarnya.

Trauma Santri, Pendampingan Psikologis Digencarkan

Terungkapnya kasus ini membuat suasana di pesantren mendidih. Para santri lain yang mendengar kabar tersebut mengalami kecemasan, sementara orangtua korban dilanda amarah dan rasa khianat.

Saat ini, enam korban yang telah resmi melapor sedang menjalani pendampingan psikologis intensif dari kepolisian, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kukar, serta TRCPPA Kaltim. Pendampingan dilakukan untuk memulihkan trauma akibat perbuatan yang dilakukan oleh sosok yang mereka anggap guru sekaligus panutan.

Jerat Hukum Berat Menanti

MA dijerat dengan Pasal 76E jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2016, serta Pasal 64 dan 65 KUHP. Ancaman hukumannya tidak main-main, yakni minimal 5 tahun hingga maksimal 15 tahun penjara.

Meski demikian, Polres Kukar menegaskan bahwa proses hukum tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Tersangka MA akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pengadilan hingga ada putusan hukum tetap.

Pesantren Tercoreng, Masyarakat Berang

Kasus ini menambah daftar panjang kejahatan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama. Banyak kalangan menilai bahwa pesantren sebagai benteng moral seharusnya benar-benar diawasi agar tidak menjadi tempat subur predator seksual.

“Ini bukan hanya masalah hukum, tapi juga masalah kepercayaan masyarakat. Anak-anak dititipkan ke pesantren untuk dididik agama, bukan justru diperlakukan seperti ini,” ungkap salah satu aktivis perlindungan anak di Kaltim.

Kasus ini dipastikan akan menjadi perhatian publik luas, sekaligus ujian berat bagi pesantren untuk membuktikan diri mampu menjaga amanah orangtua dalam mendidik dan melindungi generasi muda.

(Okz)

#PelecehanSeksual #Pesantren #Hukum