Breaking News

Sidang Kasus Korupsi Tol Padang–Sicincin Memanas: Dua Eks Pejabat BPN Sumbar Dituntut 10 Tahun Penjara, Kuasa Hukum Bongkar Dugaan Kejanggalan Besar

Suasana sidang pembacaan dakwaan oleh JPU terhadap 11 terdakwa kasus korupsi ganti rugi proyek tol Padang-Sicincin.

D'On, PadangRuang sidang Pengadilan Negeri Padang mendadak tegang pada Selasa malam (22/7), ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Padang membacakan tuntutan terhadap 11 terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ganti rugi pembebasan lahan proyek strategis nasional Tol Padang–Sicincin. Tuntutan yang dilayangkan tak hanya memunculkan gemuruh di ruang sidang, namun juga membuka kembali pertanyaan publik soal integritas proses pengadaan tanah di balik megaproyek jalan tol tersebut.

Dua Mantan Pejabat BPN Sumbar Dituntut 10 Tahun Penjara

Pusat perhatian malam itu tertuju pada dua nama besar yang duduk di kursi terdakwa: Syaiful dan Yuhendri, dua mantan pejabat di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatra Barat. Keduanya merupakan Ketua dan anggota Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) proyek tol Padang–Sicincin.

Jaksa Yoki Eka Rise dan tim JPU menyatakan bahwa keduanya secara sah dan meyakinkan terlibat dalam tindak pidana korupsi sesuai Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Terdakwa Syaiful dan Yuhendri dituntut masing-masing dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta,” tegas JPU. Namun, dalam tuntutan itu, keduanya tidak dibebani uang pengganti kerugian negara.

Terdakwa Lain Dituntut Bervariasi, Hingga 8 Tahun Penjara

Selain kedua pejabat BPN, delapan terdakwa lainnya merupakan pihak yang menerima ganti rugi atas lahan yang dibayarkan oleh negara namun diduga fiktif atau bermasalah secara status hukum. Mereka dituntut dengan hukuman penjara antara 4 hingga 8 tahun.

Di antaranya:

  • Amroh dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta
  • Bakri dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta
  • Marina dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta

Tuntutan ini menggambarkan kompleksitas dan kedalaman kasus yang melibatkan berbagai unsur—dari pejabat pemerintah hingga masyarakat penerima dana ganti rugi.

Sidang Dihadiri Penuh, Suasana Tegang

Sidang lanjutan ini dipimpin oleh Hakim Ketua Dedi Kuswara, dan dihadiri seluruh terdakwa beserta penasihat hukum masing-masing. Suasana ruang sidang terlihat padat dan tegang, dipenuhi oleh keluarga para terdakwa, perwakilan kejaksaan, hingga aparat keamanan yang bersiaga penuh.

Sorotan tajam tertuju pada jalannya pembacaan tuntutan yang berlangsung selama lebih dari dua jam. Tak sedikit kerabat terdakwa yang tampak menahan emosi, sesekali menitikkan air mata.

Kuasa Hukum Bongkar Kejanggalan: “Aneh dan Tidak Masuk Akal”

Setelah sidang, kuasa hukum Syaiful, Putri Deyesi Rizky, langsung memberikan pernyataan kepada media. Ia menilai tuntutan tersebut sarat kejanggalan hukum dan tidak mempertimbangkan fakta perbedaan mendasar antara proyek tol jilid I dan jilid II.

“Saya sudah prediksi tuntutan akan menyerupai proyek tol jilid I, tapi kondisinya sangat berbeda. Di tol jilid II ini, masyarakat sama sekali tidak menyerahkan alas hak kepada IKK, dan mereka pun tidak pernah menerima ganti rugi sejak 2009. Bagaimana mungkin klien saya dituntut dalam kondisi seperti itu?” ujar Putri tegas.

Ia menegaskan bahwa kliennya hanya menjalankan tugas berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Salah satu tugas penting Syaiful sebagai Ketua P2T adalah menandatangani validasi data penerima, yang menjadi syarat pencairan dana ganti rugi.

Putri menyebut, saat terjadi kekurangan dokumen pada proses pembayaran awal tanggal 29 Desember 2020, kliennya justru bertindak cepat dengan memerintahkan penghentian pembayaran, sebagai bentuk kontrol.

Misteri Aset Pemda: Diumumkan Setelah Uang Cair

Putri juga mempertanyakan pernyataan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang mengklaim bahwa tanah yang dibayarkan pada 5 Maret 2021 adalah aset daerah. Anehnya, pernyataan itu baru muncul dua minggu setelah uang ganti rugi dibayarkan.

“Pada 5 Maret itu, semua unsur hadir, termasuk mantan Bupati Suhatri Bur yang menyerahkan simbolis uang UGK. Tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa itu aset Pemda. Tapi tiba-tiba pada 18 Maret, muncul pengakuan bahwa lahan itu milik pemerintah. Ke mana saja mereka sebelumnya?” ungkapnya penuh heran.

Pertanyakan Peran PPK dan Pemerintah Daerah

Putri menegaskan, tanggung jawab utama atas keuangan negara ada di tangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ia juga mempertanyakan keberadaan Pemprov sebagai pihak yang menetapkan lokasi dan peran aktif Pemkab sebagai pemilik aset.

“Kalau memang itu aset Pemkab, kenapa sejak awal tidak disampaikan? Kenapa diam saat proses berjalan? Mohon keadilan. Ini harus diusut sampai tuntas,” katanya.

Ia memastikan akan berjuang dalam pleidoi yang akan dibacakan pada sidang lanjutan 29 Juli 2025, bahkan siap melanjutkan perkara ke tingkat kasasi, jika diperlukan.

Proyek Strategis Nasional yang Tersandung Masalah

Proyek Jalan Tol Padang–Sicincin adalah bagian dari Jalan Tol Trans Sumatera yang digadang-gadang menjadi solusi konektivitas dan pertumbuhan ekonomi Sumatra Barat. Namun, bayang-bayang korupsi dalam pengadaan lahannya telah menodai semangat pembangunan tersebut.

Kasus ini menjadi refleksi bahwa meski proyek berskala nasional membawa harapan besar, namun jika tidak dikawal dengan transparansi dan integritas, bisa berakhir menjadi ranjau hukum yang mengorbankan banyak pihak.

Sidang berikutnya akan digelar pada 29 Juli 2025 dengan agenda pembacaan pleidoi dari tim kuasa hukum. Masyarakat kini menanti, apakah keadilan akan berpihak pada fakta hukum atau terjebak dalam pusaran proyek besar yang kehilangan kendali.

(Mond)

#Korupsi #KorupsiTolPadangSicincin #SumateraBarat