Padang di Titik Kritis: HMI dan Tanggung Jawab Ekologis yang Terabaikan
![]() |
Penulis: Mulya Hidayat SH — Fungsionaris HMI Cabang Padang |
Dirgantaraonline - Kota dalam Krisis: Ketika Alam Tak Lagi Diam.
Padang hari ini berdiri di atas tanah yang terus bergerak, bukan karena gempa semata, tetapi karena fondasi ekologisnya yang rapuh dan terancam. Pada 7 Maret 2024, banjir bandang menerjang Lubuk Kilangan dan Pauh. Bukan sekadar limpahan air, tapi lonceng peringatan yang menggema dari hulu Sungai Batang Kuranji, membawa lumpur, kayu, dan cerita duka lebih dari 1.200 rumah yang terendam serta ribuan warga yang mengungsi dalam ketidakpastian.
Namun tragedi ini bukan potret tunggal. Dalam dua tahun terakhir, abrasi pantai perlahan mencuri daratan di kawasan Purus dan Muaro Lasak. Di sisi lain kota, longsor dan erosi tanah menghantam Bungus dan Limau Manis, memutus jalan, melumpuhkan ekonomi lokal, dan merenggut ketenangan warga yang tinggal di lereng-lereng yang kian gundul.
Seluruhnya adalah gejala dari satu penyakit besar: menurunnya daya dukung ekologis Kota Padang. Penyakit yang ditularkan oleh tata ruang yang amburadul, konversi lahan tak terkendali, serta keserakahan ekonomi yang membungkam etika dan akal sehat. Kota ini tak hanya menghadapi krisis air atau tanah longsor. Ia sedang mengalami krisis keberlanjutan krisis peradaban.
Mahasiswa dan Sunyinya Perjuangan Ekologis
Di tengah bencana demi bencana, ke mana suara mahasiswa? Di mana posisi kaum intelektual muda ketika alam tempat mereka berpijak sedang berteriak?
Hari ini, terlalu banyak forum diskusi mahasiswa yang terjebak pada perdebatan ideologis yang kering makna. Wacana politik elektoral, polarisasi identitas, dan gimik kebangsaan kerap menjadi panggung utama, sementara isu lingkungan yang menjadi sumber dari banyak ketimpangan sosial diletakkan di ruang tunggu yang sepi.
Padahal, politik lingkungan bukan sekadar tren aktivisme. Ia adalah inti dari perjuangan keadilan sosial. Lingkungan yang rusak melahirkan kemiskinan struktural. Ketika sungai tercemar, rakyat kecil yang paling dulu kehilangan sumber air bersih. Ketika tanah longsor, petani yang kehilangan ladangnya. Ketika laut tercemar limbah, nelayan yang pulang dengan tangan hampa.
Mahasiswa tidak bisa terus diam. Dalam setiap ketidakadilan ekologis, ada wajah rakyat yang dirugikan. Dan jika kaum intelektual memilih bungkam, mereka menjadi bagian dari sistem yang melanggengkan kerusakan itu.
HMI dan Mandat Ekoteologi yang Terabaikan
Sebagai organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memikul amanah ganda: sebagai pemantik perubahan sosial dan sebagai penjaga nilai-nilai keislaman. Maka menjadi kontradiksi tragis ketika dalam situasi darurat ekologis seperti ini, HMI belum mengambil posisi tegas dan strategis.
Dalam Al-Qur’an, manusia disebut sebagai khalifah fil ardh pemelihara bumi, bukan perusaknya (QS al-Baqarah: 30). Dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah, menjaga lingkungan hidup (ḥifẓ al-bī‘ah) disejajarkan urgensinya dengan menjaga nyawa (ḥifẓ al-nafs). Maka merusak lingkungan adalah bentuk kezaliman terhadap syariat itu sendiri.
Namun realitasnya, kesadaran ekoteologis dalam tubuh HMI masih bersifat simbolik. Menanam pohon saat Milad, membersihkan pantai saat dies natalis itu semua baik, tetapi tidak cukup. Tanpa keberlanjutan, tanpa advokasi, dan tanpa perubahan struktural, semua itu akan berakhir sebagai dokumentasi Instagram belaka.
Materi perkaderan dari LK I hingga LK III masih menempatkan ekologi di pinggiran. Diskursus keislaman belum terhubung secara mendalam dengan realitas kerusakan bumi. Seolah-olah antara “iman” dan “alam” tidak saling bersentuhan. Padahal, Al-Qur’an penuh dengan narasi ekologis, dari konsep mīzān (keseimbangan), fasād (kerusakan), hingga ‘imāratul ardh (pemakmuran bumi).
Dari Aksi Seremonial ke Strategi Sistemik
Jika HMI ingin menjadi kekuatan yang relevan, maka ia harus berani keluar dari zona nyaman simbolisme. Perlu lompatan strategis. Apa yang bisa dilakukan?
-
Membentuk Divisi Green Action
Cabang HMI Padang harus memiliki unit tetap yang fokus pada advokasi, edukasi, dan kampanye lingkungan secara berkelanjutan. Tidak cukup hanya menjadi peserta seminar atau panitia penanaman pohon. HMI harus memimpin inisiatif perubahan. -
Mengintegrasikan Tafsir Ekologis ke Kurikulum Kaderisasi
Materi kaderisasi harus memuat pembacaan ekologis atas teks suci. Tafsir tematik mengenai alam dan tanggung jawab manusia dalam mengelola bumi harus menjadi bagian dari proses pembentukan kader, agar spiritualitas mereka berakar pada realitas ekologis. -
Membangun Aliansi Strategis
HMI tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada kemitraan dengan organisasi seperti WALHI Sumbar, Eco-Padang, hingga komunitas pemuda nagari. Dari kerja kolaboratif inilah lahir gerakan ekologi berbasis komunitas yang kuat dan berkelanjutan. -
Pemetaan dan Aksi Nyata di Titik Kritis Ekologi
Kader HMI bisa turun langsung memetakan wilayah yang sedang dan akan mengalami krisis ekologis—Bukit Lampu yang mulai gundul, Batang Arau yang makin tercemar, Gunung Marapi yang terancam pembalakan liar. Dari sini bisa lahir riset dan gerakan berbasis data. -
Membangun Narasi Islam Ramah Lingkungan di Media Sosial
Kader HMI harus menjadi pionir dalam mempopulerkan nilai-nilai Qur’ani tentang alam di dunia digital. Di era media sosial, ide yang tidak dikampanyekan akan tertelan. Maka Islam ekologis harus menjadi wacana yang hidup, bukan hanya di mimbar, tetapi juga di feed Instagram dan video pendek TikTok.
Misi Zaman: Menyelamatkan Bumi, Menyelamatkan Umat
Ini bukan sekadar soal banjir atau abrasi. Ini adalah soal bagaimana kita memahami tugas peradaban. Kota Padang sedang mengirimkan sinyal bahaya yang nyata: bahwa jika tidak ada perubahan, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.
Dan di tengah semua ini, HMI dihadapkan pada pertanyaan paling mendasar: apakah sanggup keluar dari sekadar seremonial menuju perubahan sistemik? Apakah mampu menggabungkan keislaman dan keilmuan dalam misi merawat bumi?
Jika HMI benar-benar berpihak pada umat, maka lingkungan adalah umat pertama yang harus diselamatkan. Sebab di balik setiap gunung yang digunduli, sungai yang tercemar, dan pantai yang tergerus, tersembunyi masa depan generasi yang sedang kita abaikan.
Bumi sedang sekarat. Dan diamnya kaum intelektual adalah bentuk pembiaran yang tak terampuni.
(***)
#Opini