Breaking News

KPK Kritik 17 Pasal RUU KUHAP yang Dinilai Melemahkan Pemberantasan Korupsi, Desak Audiensi dengan Presiden dan DPR

Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK Imam Akbar Wahyu Nuryamto (kiri) dalam diskusi soal RUU KUHAP di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (22/7/2025).

D'On, Jakarta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan kekhawatiran serius terhadap 17 pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga antirasuah tersebut bahkan telah secara resmi meminta waktu untuk beraudiensi dengan Presiden Prabowo Subianto dan Ketua DPR RI Puan Maharani guna menyampaikan catatan kritis mereka.

Permintaan audiensi ini disampaikan oleh Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK, Imam Akbar Wahyu Nuryamto, dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Menakar Dampak RUU Hukum Acara Pidana bagi Pemberantasan Korupsi”, yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa (22/7/2025).

Tidak Dilibatkan dalam Pembahasan RUU

Imam menuturkan bahwa KPK sejauh ini tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU KUHAP yang tengah berlangsung. Padahal, sebagai lembaga penegak hukum yang berkaitan langsung dengan proses hukum pidana, keterlibatan KPK dinilai sangat penting. Lebih dari itu, hingga kini KPK mengaku belum mengetahui secara pasti sejauh mana perkembangan pembahasan pasal-pasal dalam RUU tersebut.

"Sampai detik ini kami tidak tahu pasti perkembangan dari pasal-pasal KUHAP itu sendiri karena kami tidak terlibat langsung dan tidak tahu seperti apa isi yang berkembang di DPR," ujar Imam.

KPK telah mengirimkan surat permohonan audiensi ke Ketua DPR dan Presiden, dengan tembusan kepada Ketua Komisi III DPR serta Menteri Hukum dan HAM. Namun, hingga berita ini disusun, belum ada tanggapan balik yang diterima KPK dari lembaga eksekutif maupun legislatif.

"Kami sudah menyampaikan surat resmi ke Ketua DPR dan Presiden, termasuk tembusan ke Komisi III dan Menkumham. Kami berharap bisa beraudiensi, karena kami memiliki catatan dan usulan penting terkait 17 pasal dalam RUU KUHAP yang kami nilai bermasalah," ungkap Imam.

Tuntutan Partisipasi Publik dan Keterbukaan

KPK menekankan bahwa proses legislasi semestinya dilakukan dengan mengedepankan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Terlebih, RUU KUHAP merupakan aturan fundamental yang menjadi tulang punggung dalam sistem peradilan pidana nasional.

"Kami memandang bahwa proses revisi KUHAP ini semestinya menjamin adanya keterlibatan aktif publik, termasuk dari lembaga-lembaga yang akan terdampak langsung seperti KPK. Namun sejauh ini kami belum menerima undangan ataupun respon atas surat permintaan audiensi kami," jelas Imam.

Menurutnya, jika RUU KUHAP disahkan tanpa pelibatan KPK dan pemangku kepentingan lain yang relevan, ada risiko besar bahwa regulasi yang dihasilkan justru akan menghambat upaya pemberantasan korupsi di tanah air.

Revisi KUHAP Diakui Penting, Tapi Harus Perhatikan Tindak Pidana Khusus

Meski menyatakan dukungan terhadap upaya revisi KUHAP yang sudah lama tidak diperbarui, KPK menegaskan pentingnya sinkronisasi KUHAP baru dengan ketentuan hukum acara yang bersifat khusus—terutama yang mengatur tindak pidana korupsi.

“Kami memahami bahwa KUHAP perlu diperbarui, terlebih karena revisi ini juga terkait dengan penerapan KUHP Nasional yang akan berlaku mulai Januari 2026. Namun, revisi tersebut harus tetap menjaga semangat pemberantasan korupsi dan tidak melemahkan prinsip lex specialis yang sudah diatur dalam Undang-Undang KPK,” tegas Imam.

Ia menambahkan bahwa politik hukum KUHAP sebenarnya telah mengakui eksistensi hukum acara yang bersifat khusus, termasuk hukum acara pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, sudah semestinya semangat penguatan penegakan hukum tetap menjadi ruh dalam pembaruan KUHAP.

"Jika KUHAP ingin relevan dan kuat, maka ia harus mampu mengakomodir keberadaan hukum acara khusus seperti dalam pemberantasan korupsi. KUHAP tidak boleh menjadi alat yang justru melemahkan upaya penegakan hukum yang selama ini dibangun dengan susah payah," pungkas Imam.

Sorotan terhadap 17 Pasal RUU KUHAP

Meski Imam belum menyebutkan secara rinci ke-17 pasal yang dipermasalahkan, KPK menyatakan bahwa sejumlah ketentuan dalam draf RUU KUHAP tersebut berpotensi:

  • Membatasi ruang gerak penyidik dalam melakukan penggeledahan dan penyitaan,
  • Melemahkan posisi penyadapan sebagai alat bukti utama dalam kasus korupsi,
  • Membatasi independensi lembaga penegak hukum khusus,
  • Memperpanjang prosedur praperadilan yang dapat dimanfaatkan oleh tersangka untuk menggugurkan kasus secara formal,
  • Dan mengurangi efektivitas koordinasi antar lembaga penegak hukum.

Kekhawatiran ini menjadi penting mengingat korupsi di Indonesia kerap kali melibatkan pelaku yang memiliki kekuasaan, akses, dan sumber daya untuk menghindari jerat hukum. Oleh karena itu, instrumen hukum acara yang kuat dan adaptif menjadi kebutuhan mutlak.

RUU KUHAP menjadi salah satu regulasi paling strategis yang akan menentukan wajah sistem peradilan pidana Indonesia ke depan. Ketika regulasi ini menyentuh hal-hal fundamental seperti penyidikan, penahanan, hingga pembuktian di pengadilan, maka implikasinya pun tidak main-main termasuk terhadap eksistensi KPK dan semangat pemberantasan korupsi. Dengan belum dilibatkannya KPK dalam pembahasan, publik pun berhak bertanya: apakah revisi KUHAP benar-benar dirancang untuk memperkuat hukum, atau justru membuka celah bagi impunitas?

(Mond)

#KPK #RUUKUHAP #Nasional