Breaking News

Polda Riau Tetapkan 4 Tersangka Perambah Hutan, Puluhan Hektare Jadi Kebun Sawit

Tersangka perusakan hutan di Riau

D'On, Riau -
 Jejak excavator dan cangkul tampak samar di balik rimbun dedaunan Hutan Lindung Si Abu, Desa Balung, Kecamatan XIII Koto Kampar, Riau. Puluhan hektare kawasan hutan yang seharusnya menjadi benteng terakhir ekosistem, kini disulap menjadi hamparan kebun kelapa sawit. Dari batang-batang muda yang baru enam bulan, hingga yang sudah menjulang dua tahun lamanya, kebun itu tumbuh diam-diam  sampai akhirnya terbongkar.

Pengungkapan ini bukan kebetulan. Berawal dari laporan warga yang gelisah akan hilangnya tutupan hutan, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau turun tangan. Hasilnya, empat orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka bukan sekadar pekerja lapangan. Mereka adalah aktor lokal yang berperan sebagai pemilik, pengelola, dan pemberi hibah tanah melalui skema adat.

“Ini bukan hanya soal pelanggaran administratif,” tegas Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, dalam konferensi pers pada Senin, 9 Juni 2025. “Ini kejahatan sistemik terhadap lingkungan, yang mengancam keseimbangan ekologi dan keselamatan generasi mendatang.”

Lahan Hutan Disulap Jadi Kebun: Modus Berbungkus Adat

Keempat tersangka  Muhammad Mahadir alias Madir (40), Buspami bin Toib (48), Yoserizal (43), dan M. Yusuf Tarigan alias Tarigan (50)  bukan sekadar petani biasa. Mereka menjalankan aksinya secara terorganisir dan sistematis, dengan memanfaatkan celah hukum di tingkat lokal.

Menurut Direktur Reskrimsus Kombes Ade Kuncoro Ridwan, modus operandi mereka cukup canggih. Para pelaku menyamarkan aktivitas pembukaan hutan menggunakan dokumen hibah lahan, kwitansi jual beli, serta perjanjian kerja berbasis adat. Dengan dokumen-dokumen itu, seolah-olah lahan yang berada di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung telah sah secara hukum adat.

“Tapi faktanya, lokasi tersebut adalah kawasan hutan lindung yang statusnya dilindungi undang-undang. Aktivitas mereka tetap ilegal,” ujar Ade.

Polisi mengamankan sejumlah barang bukti: dokumen transaksi, surat hibah, peralatan pertanian, alat berat, hingga stempel lembaga adat yang digunakan untuk memalsukan legitimasi.

Green Policing dan Ancaman Nyata Ekokriminal

Penindakan ini menjadi bagian dari kebijakan Green Policing, strategi Polri dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup secara menyeluruh melalui pendekatan preemtif, preventif, dan represif. Irjen Herry menyebut, sepanjang tahun 2025, Polda Riau telah menangani 21 kasus kejahatan lingkungan, dengan total luas lahan terdampak mencapai 2.360 hektare.

“Perambahan hutan bukan pelanggaran sepele. Ia adalah kejahatan ekokriminal yang dampaknya bisa memicu bencana ekologis, mempercepat perubahan iklim, dan menghancurkan sumber kehidupan masyarakat adat serta generasi mendatang,” papar Kapolda.

Dalam konteks ini, hukum tidak hanya menjadi alat penjera, tetapi juga instrumen penyelamat bumi. Penegakan hukum yang tegas dan menyeluruh adalah bentuk nyata perlindungan terhadap keutuhan alam — bukan hanya demi konservasi, tapi juga keberlanjutan hidup manusia.

Menelusuri Jejak Keuntungan dan Pelindung di Balik Layar

Meski empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka, Polda Riau menyatakan bahwa penyidikan belum selesai. Penelusuran lebih dalam terus dilakukan untuk mengungkap pihak-pihak lain yang turut terlibat — termasuk aktor intelektual yang bersembunyi di balik kekuasaan atau modal.

“Kami tidak akan berhenti pada pelaku lapangan. Siapa pun yang mendapatkan keuntungan dari aktivitas ilegal ini, termasuk sponsor, fasilitator, atau penadah, akan kami kejar dan tindak tegas,” ujar Herry.

Keempat tersangka dijerat dengan sejumlah pasal, antara lain Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023, serta Pasal 92 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukuman maksimal mencapai 10 tahun penjara dan denda hingga Rp7,5 miliar.

Menjaga Tuah, Melawan Kehancuran

Kasus ini adalah cermin dari pertarungan panjang antara perlindungan lingkungan dan godaan keuntungan jangka pendek. Riau yang dikenal dengan sebutan Bumi Lancang Kuning telah lama menjadi medan konflik antara konservasi dan ekspansi.

“Melindungi tuah, menjaga marwah,” kata Kapolda. Itu bukan sekadar semboyan, melainkan komitmen moral dalam menjaga warisan bumi.

Dari balik jeruji hukum, para perambah hutan itu mungkin akhirnya terhenti. Namun pertanyaannya: berapa banyak lagi hutan yang akan hilang sebelum semuanya terlambat?

(Mond)

#HutanLindung #PoldaRiau