Bentangkan Spanduk Protes Saat Wapres Gibran Berkunjung, Tiga Mahasiswa Blitar Diamankan Paspampres
Tiga mahasiswa ditangkap melakukan aksi membentangkan poster saat kunjungan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka di Kota Blitar, Rabu (18/6/2025). Foto: Dok. Istimewa
D'On, Blitar — Suasana Kota Blitar yang semula tenang mendadak berubah tegang, Rabu siang (18/6), saat rombongan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, tiba untuk melakukan kunjungan ke sebuah rumah makan legendaris di kota itu. Di tengah gegap gempita penyambutan dan penjagaan ketat dari aparat, tiga mahasiswa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tiba-tiba muncul dengan poster-poster bernada kritik tajam.
Poster-poster tersebut bertuliskan kalimat yang menyengat: “Omon-omon 19 juta lapangan kerja?”, dan “Dinasti tiada henti.”
Tak sampai lima menit, ketiganya langsung dikepung dan diamankan oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang mendampingi rombongan Wapres. Menurut pengurus Koordinator Cabang PMII Jawa Timur, Moh. Sholikhul Hadi, aksi tersebut dilakukan oleh enam mahasiswa, namun hanya tiga orang yang sempat ditangkap.
“Mahasiswa itu hanya ingin menyampaikan ekspresi kekecewaan mereka secara damai. Tapi mereka langsung disergap, posternya dirampas, dan mereka dibawa ke dalam mobil,” ungkap Hadi, saat dikonfirmasi Kamis pagi (19/6).
Ia menjelaskan, ketiga mahasiswa itu dibawa ke sebuah lokasi yang tidak diketahui dengan pasti—bisa rumah, bisa kantor. Mereka berada di lokasi tersebut selama kurang lebih empat jam sebelum akhirnya dibebaskan tanpa proses hukum.
“Secara fisik mereka memang tidak disakiti, tapi secara psikologis jelas terguncang. Ini semacam teror mental,” lanjut Hadi. “Apalagi mereka tidak diberi tahu akan dibawa ke mana, hanya disebut 'diamankan'. Itu saja sudah menimbulkan trauma.”
Penjelasan Polisi: Wilayah VVIP Harus Bebas Gangguan
Wakapolres Blitar Kota, Kompol Subiyantana, membenarkan peristiwa pengamanan tersebut. Ia menjelaskan bahwa ketiga mahasiswa itu dianggap mencoba menerobos barisan pengamanan saat Wapres Gibran hendak memasuki rumah makan “Bu Mami.”
“Saat rombongan Wapres hendak masuk, tiba-tiba ada tiga mahasiswa yang mendekat sambil membentangkan poster. Karena dianggap mengganggu sterilisasi wilayah VVIP, mereka langsung diamankan,” kata Subiyantana.
Ia menegaskan bahwa tindakan itu murni bagian dari protap pengamanan VVIP. “Kalau sudah menyangkut pejabat negara setingkat Wapres, maka harus steril. Tidak boleh ada yang mendekat tanpa izin, apalagi membawa poster yang bisa memicu gangguan keamanan,” ujarnya.
Subiyantana juga memastikan tidak ada tindak kekerasan ataupun proses hukum lanjutan terhadap para mahasiswa tersebut. “Mereka hanya diarahkan menjauh, tidak ada penahanan resmi. Setelah situasi kondusif, mereka kami pulangkan.”
Kontroversi dan Ruang Ekspresi yang Menyempit
Insiden ini menambah daftar panjang kasus pembungkaman ekspresi di ruang publik, terutama ketika menyangkut kritik terhadap pemerintah dan elite politik. Tulisan dalam poster yang menyindir janji 19 juta lapangan kerja dan soal isu politik dinasti, tampaknya menyentuh titik sensitif.
PMII menilai penanganan terhadap aksi damai tersebut sebagai bentuk represif dan tidak proporsional. “Mahasiswa punya hak untuk menyampaikan pendapat, terlebih lagi ini dilakukan secara damai, tidak anarkis,” tegas Hadi.
Di sisi lain, aparat menilai bahwa di momen-momen kunjungan pejabat tinggi negara, prioritas utama adalah keamanan dan ketertiban, bukan kebebasan berekspresi.
Antara Protokol dan Demokrasi
Peristiwa ini kembali memunculkan pertanyaan lama: di mana batas antara pengamanan pejabat negara dan penghormatan terhadap hak konstitusional warga untuk bersuara?
Sebagian kalangan menilai tindakan “pengamanan” terhadap mahasiswa yang hanya membentangkan poster sebagai bentuk represif halus yang merusak esensi demokrasi. Apalagi, aksi tersebut berlangsung dalam hitungan menit, di ruang terbuka, dan tanpa unsur kekerasan.
Kini, setelah mereka dibebaskan, para mahasiswa itu mungkin sudah kembali ke kampusnya. Tapi narasi yang lebih besar tengah berkembang tentang bagaimana ekspresi dikontrol, bagaimana aspirasi dibungkam, dan bagaimana kritik menjadi barang mewah di negeri yang menjunjung tinggi demokrasi.
(Mond)
#Peristiwa #Paspampres #Nasional