Preman Bertameng Ormas Digulung di Jakarta Barat, ada dari GRIB Jaya, FBR Hingga Karang Taruna
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam usai konferensi pers pengungkapan hasil Ops Nila jaya 2024, Kamis (8/8/2024). tirto.id
D'On, Jakarta — Malam itu, langit di atas Puri Kembangan, Jakarta Barat, tampak biasa saja. Namun di balik suasana yang tenang, sebuah operasi senyap tengah berjalan. Tim gabungan dari Polda Metro Jaya, TNI, dan Satpol PP bergerak cepat menindak keresahan warga yang telah lama bergulir: aksi premanisme berkedok iuran keamanan.
Hasilnya mengejutkan. Sebanyak 22 orang diamankan dalam Operasi Berantas Jaya. Mereka bukan pelaku kriminal biasa, melainkan individu yang mengklaim sebagai bagian dari sejumlah organisasi massa (ormas) ternama, seperti GRIB, FBR, dan karang taruna setempat.
Menurut keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indardi, penangkapan ini bermula dari laporan warga, khususnya pedagang kaki lima yang nyaris setiap hari harus menyisihkan penghasilannya untuk “iuran wajib” yang tak pernah jelas juntrungannya.
“Jenis pungutan liar ini beragam. Ada yang diminta uang listrik sebesar Rp10.000 per hari, ada yang dikenai uang lapak hingga Rp1 juta, bahkan dikenakan biaya bulanan antara Rp350.000 hingga Rp400.000,” ujar Kombes Ade Ary dalam konferensi pers, Selasa (14/5/2025) malam.
Barang bukti berupa karcis cetak sendiri dan catatan hasil pungutan turut diamankan. Karcis ini digunakan untuk memberikan kesan seolah-olah pungutan tersebut legal dan resmi, padahal sama sekali tidak ada dasar hukumnya.
Namun lebih mengejutkan lagi adalah identitas para pelaku. Setelah dilakukan interogasi, delapan di antaranya mengaku sebagai anggota karang taruna, tujuh sebagai anggota GRIB (Gerakan Rakyat Indonesia Baru), dan tujuh lainnya sebagai bagian dari FBR (Forum Betawi Rempug). Bahkan mereka menunjukkan kartu anggota yang ditandatangani tokoh-tokoh yang dikenal di komunitas masing-masing—Haji Mamat untuk GRIB dan Haji Mudljamil untuk FBR.
Sistematis dan Terorganisir
Tak sekadar meminta uang secara acak, para pelaku ternyata menjalankan praktik ini dengan sistem yang rapi. Uang parkir yang dipungut oleh karang taruna, misalnya, dikenakan tarif Rp5.000 per motor. Hasilnya kemudian dibagi rata di antara delapan orang anggota.
Sementara itu, pengakuan dari pelaku yang mengatasnamakan GRIB dan FBR menyebutkan bahwa sistem pembagian hasil dilakukan secara bertingkat—setoran ke pihak “atas” dalam struktur ormas masing-masing.
“Ketika pedagang ingin menawar atau membayar secara mencicil, mereka tidak diberi pilihan. Harga yang ditetapkan bersifat mutlak. Ini jelas bentuk pemerasan,” ungkap Ade Ary.
Polda Metro Jaya Siap Gali Lebih Dalam
Kini, tim dari Satreskrim Polres Metro Jakarta Barat sedang mendalami kemungkinan adanya aktor intelektual di balik aksi premanisme ini. Apakah para pelaku bertindak atas inisiatif sendiri, atau justru menjalankan perintah dari pihak yang lebih tinggi dalam organisasi mereka?
Yang jelas, kasus ini membuka kembali luka lama tentang bagaimana sejumlah ormas di ibu kota kerap kali disalahgunakan sebagai tameng untuk melakukan pemalakan. Masyarakat yang takut akan intimidasi sering kali memilih diam, dan kondisi ini menjadikan premanisme kian mengakar di permukiman warga hingga pasar-pasar tradisional.
“Kami mengajak masyarakat untuk tidak takut melapor. Operasi seperti ini akan terus kami lanjutkan demi menciptakan Jakarta yang lebih aman dan tertib,” tutup Ade Ary.
(Mond)
#Premanisme #Ormas #GRIBJaya #FBR #KarangTaruna #PoldaMetroJaya