Merayakan Hari Pers Sedunia: 10 Jurnalis Perempuan yang Mengukir Sejarah dengan Pena dan Keberanian, Nomor Satu Berdarah Minang
10 tokoh jurnalis perempuan dunia yang berprestasi dan inspiratif. (Istimewa)
Dirgantaraonline – Setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) sebagai bentuk penghormatan terhadap hak fundamental kebebasan berekspresi dan kebebasan media. Di balik sorotan kamera dan lembaran berita, ada suara-suara yang tak gentar menghadapi ancaman, tekanan politik, atau bahkan risiko kehilangan nyawa demi satu tujuan: menyampaikan kebenaran.
Dalam sejarah panjang jurnalisme, nama-nama besar sering kali didominasi oleh laki-laki. Namun, perempuan pun telah menorehkan kontribusi luar biasa di dunia pers. Dengan semangat, ketajaman, dan idealisme, mereka tak hanya hadir sebagai penulis, tetapi juga sebagai pionir, pejuang, dan simbol keteguhan hati. Inilah 10 tokoh jurnalis perempuan berprestasi dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, yang kisahnya patut dikenang dan dijadikan inspirasi.
1. Roehana Koeddoes – Pionir Pers Perempuan Nusantara
Lahir pada 1884 di Koto Gadang, Sumatra Barat, Roehana Koeddoes dikenal sebagai perempuan pertama yang mendobrak dominasi laki-laki di dunia pers Indonesia. Di usia yang masih muda, ia telah aktif menulis di Poetri Hindia sejak 1908.
Namun kiprah gemilangnya tidak berhenti di situ. Pada tahun 1912, ia mendirikan Soenting Melajoe, sebuah surat kabar khusus perempuan pertama di Minangkabau, dengan redaksi sepenuhnya perempuan. Melalui medianya, Roehana menyuarakan pentingnya pendidikan dan emansipasi bagi kaum perempuan pribumi. Pada 2019, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, mengukuhkan warisannya sebagai tokoh perintis jurnalisme dan pendidikan perempuan Indonesia.
2. Ani Idrus – Suara Perempuan dalam Perjuangan Bangsa
Ani Idrus memulai karier jurnalistiknya sejak 1930, jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Bersama suaminya, ia mendirikan Harian Waspada di Medan, yang berperan penting dalam mengobarkan semangat nasionalisme.
Lebih dari sekadar jurnalis, Ani adalah saksi sejarah yang menyuarakan perjuangan kemerdekaan dan transformasi bangsa. Ia meluncurkan Dunia Wanita, majalah yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan keluarga. Ia juga meliput isu-isu besar seperti penyerahan Irian Barat, menjadikannya satu dari sedikit jurnalis perempuan yang berkiprah dalam isu-isu geopolitik.
3. Marie Colvin – Jurnalis yang Tak Takut Perang
Marie Colvin, jurnalis asal Amerika Serikat, adalah sosok legendaris dalam liputan perang. Ia tak segan memasuki zona-zona konflik berbahaya.dari Sri Lanka hingga Suriah untuk menyuarakan penderitaan korban sipil.
Ciri khas Colvin adalah pendekatan humanis dalam pelaporan: ia menulis dengan empati mendalam terhadap manusia yang terjebak dalam pusaran perang. Ia kehilangan mata kirinya akibat ledakan granat saat meliput di Sri Lanka, tetapi tak pernah surut semangatnya. Kehidupannya yang dramatis diabadikan dalam film A Private War (2018), dan ia dikenang sebagai jurnalis pemberani yang mengorbankan segalanya demi suara mereka yang tak terdengar.
4. Ida B. Wells – Pena Melawan Kekejaman Rasial
Di akhir abad ke-19, saat Amerika Serikat masih dibayangi oleh kekerasan rasial, Ida B. Wells berdiri sebagai suara yang tak tergoyahkan. Ia memulai kampanye jurnalistiknya untuk melawan praktik lynching—pembunuhan tanpa pengadilan terhadap orang kulit hitam yang marak terjadi di selatan AS.
Wells tak hanya menulis, tetapi juga meneliti dan mendokumentasikan fakta-fakta yang tak terbantahkan. Ia menghadapi ancaman pembunuhan dan pengusiran, namun terus melawan demi keadilan. Atas jasanya, pada 2020, Wells dianugerahi Pulitzer Prize secara anumerta, menjadikannya simbol keberanian jurnalis dalam melawan ketidakadilan sistemik.
5. Christiane Amanpour – Wajah Kejujuran dari Zona Perang
Sejak 1990-an, nama Christiane Amanpour identik dengan liputan eksklusif dari zona konflik: Irak, Bosnia, Afghanistan, hingga Palestina. Jurnalis berdarah Inggris-Iran ini dikenal dengan gaya pelaporan yang lugas dan penuh integritas.
Amanpour telah menerima berbagai penghargaan prestisius seperti Emmy Awards, Peabody, dan Edward R. Murrow Award. Ia kini memandu program Amanpour di CNN dan PBS, dan tetap menjadi suara tepercaya dalam jurnalisme internasional. Dalam setiap laporannya, Amanpour menekankan pentingnya keberpihakan pada fakta, bukan pada kekuasaan.
6. Katharine Graham – Penerbit yang Mengguncang Gedung Putih
Di era 1970-an, saat kebebasan pers di Amerika Serikat diuji oleh skandal politik terbesar abad itu, Katharine Graham memainkan peran krusial. Sebagai pemilik dan penerbit The Washington Post, ia mendukung penyelidikan mendalam atas kasus Watergate, yang akhirnya menjatuhkan Presiden Richard Nixon.
Keputusannya untuk menerbitkan laporan investigatif meski mendapat tekanan luar biasa adalah bukti integritasnya. Memoarnya, yang memenangkan Pulitzer Prize, memperlihatkan tantangan yang ia hadapi sebagai perempuan di puncak dunia media yang didominasi laki-laki.
7. Clare Hollingworth – Jurnalis Pertama Perang Dunia II
Clare Hollingworth mungkin adalah satu-satunya jurnalis yang bisa mengklaim telah "menemukan" pecahnya Perang Dunia II. Pada 1939, ia adalah orang pertama yang melaporkan invasi Jerman ke Polandia, saat bekerja sebagai koresponden pemula untuk The Daily Telegraph.
Clare terus meliput medan perang selama lebih dari 60 tahun, dari Timur Tengah hingga Asia. Ia dikenal karena kemampuannya untuk membaur dengan tentara dan warga sipil, serta keteguhannya dalam mengejar berita. Namanya menjadi legenda di kalangan jurnalis perang.
8. Anna Politkovskaya – Suara yang Dibungkam Rezim
Anna Politkovskaya, jurnalis asal Rusia, dikenal karena laporan tajamnya tentang pelanggaran HAM dalam perang Chechnya dan kritik keras terhadap pemerintahan Vladimir Putin. Ia menulis untuk Novaya Gazeta, media independen yang sering menjadi sasaran intimidasi.
Pada 2006, Anna ditembak mati di apartemennya, dalam sebuah pembunuhan yang hingga kini menyisakan tanda tanya besar. Namun warisan keberaniannya tetap hidup, dan namanya disebut sebagai simbol perjuangan jurnalisme melawan otoritarianisme.
9. Oriana Fallaci – Pewawancara Paling Tajam Abad Ini
Dengan pena tajam dan gaya konfrontatif, Oriana Fallaci menjadi jurnalis Italia paling terkenal di abad ke-20. Ia mewawancarai tokoh-tokoh besar dunia, dari Henry Kissinger, Yasser Arafat, Ayatollah Khomeini, hingga Golda Meir semuanya ia hadapi dengan pertanyaan-pertanyaan tajam dan berani.
Fallaci tak hanya mewawancarai, tetapi juga menulis buku-buku reflektif yang menantang pandangan umum tentang politik, agama, dan kemanusiaan. Ia meninggalkan warisan sebagai jurnalis yang tak pernah tunduk pada kekuasaan.
10. Jill Abramson – Memimpin The New York Times di Era Baru
Pada 2011, Jill Abramson menorehkan sejarah sebagai perempuan pertama yang menjabat sebagai Executive Editor The New York Times, salah satu surat kabar paling berpengaruh di dunia. Di bawah kepemimpinannya, NYT memperkuat jurnalisme investigatif dan memperluas liputan digital.
Abramson juga dikenal sebagai advokat integritas editorial dan transparansi redaksional. Meski masa jabatannya berakhir penuh kontroversi, kontribusinya telah membuka jalan bagi lebih banyak perempuan untuk menduduki posisi kunci dalam industri media global.
Kisah para jurnalis perempuan ini menunjukkan bahwa keberanian tidak memiliki gender. Dari Roehana Koeddoes yang memperjuangkan pendidikan di masa kolonial, hingga Anna Politkovskaya yang mengorbankan nyawa demi membongkar kebenaran, mereka telah membuktikan bahwa suara perempuan dalam jurnalisme bukan hanya penting melainkan vital.
Mereka adalah bukti hidup bahwa pena bisa menjadi senjata paling tajam untuk memperjuangkan keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran.
Penulis: Osmond Abu Khalil
#TokohJurnalisPerempuan #HariKebebasanPers #Tokoh