Kronologi Pesugihan Maut: Dukun Habisi Kepala Sekolah, Mayat Dibuang ke Hutan karena Dendam Terpendam
Kepala sekolah jadi korban pesugihan maut di Kebumen, Jawa Tengah
D'On, Kebumen, Jawa Tengah — Suasana hening hutan Petilasan Pagar Suruh, yang biasanya hanya ramai oleh desir angin dan kicau burung liar, mendadak berubah mencekam. Pada Senin pagi, 19 Mei 2025, warga dikejutkan oleh penemuan sesosok jasad pria dalam kondisi membusuk di tengah belantara. Aroma busuk menusuk hidung, menyertai kengerian yang menyelimuti tempat itu. Identitas korban pun terungkap: seorang kepala sekolah dari Kabupaten Magelang berinisial MU, berusia 55 tahun.
Namun yang lebih mengejutkan dari penemuan jasad itu adalah fakta mengerikan di balik kematiannya. Pria terhormat yang semasa hidupnya dikenal sebagai pendidik, rupanya tewas saat mengikuti sebuah ritual pesugihan praktik mistik yang diyakini dapat mendatangkan kekayaan instan, namun dengan harga yang tak jarang mengorbankan nyawa.
Perjalanan Menuju Kematian: Ritual yang Berubah Jadi Maut
Menurut keterangan resmi dari Kapolres Kebumen, AKBP Eka Baasith Syamsuri, korban datang ke lokasi keramat Petilasan Pagar Suruh pada Kamis, 15 Mei 2025, sekitar malam hari. Ia tidak sendiri. Bersamanya, hadir seorang pria muda berinisial WH (27), warga Desa Kalirancang, Kecamatan Alian, yang dikenal sebagai seorang dukun yang kerap memimpin ritual pesugihan.
Pada awalnya, keduanya tampak menjalankan ritual seperti biasa membakar kemenyan, merapalkan mantra, dan menyusun sesaji. Namun malam itu ternyata bukan sekadar malam untuk memanggil kekayaan gaib. Bagi WH, malam itu adalah waktu pembalasan dendam yang telah lama dipendam.
Dalam keterangan polisi, terungkap bahwa MU sebelumnya pernah menghina WH, menyebutnya sebagai "dukun palsu" yang tak mampu mendatangkan hasil. Ucapan itu tidak hanya meruntuhkan kepercayaan WH sebagai paranormal, tapi juga meninggalkan luka dalam yang mengendap menjadi bara dendam.
“Korban pernah menyebut pelaku tidak mampu mendatangkan kekayaan. Ucapan itu meninggalkan luka mendalam di hati pelaku,” ujar Kapolres.
Dengan amarah yang meledak dalam gelapnya hutan, WH kemudian melancarkan aksi brutal. MU dibunuh di tengah ritual, tepat di lokasi yang seharusnya menjadi tempat memanggil kekayaan gaib. Setelah memastikan korban tewas, WH lalu menyeret jasad MU lebih dalam ke tengah hutan, membiarkannya membusuk di antara semak dan pepohonan, seolah-olah berharap alam menyembunyikan kejahatannya.
Motif di Balik Darah dan Kemenyan
Kasus ini menyoroti bahaya tersembunyi di balik praktik pesugihan, yang meski dianggap klenik oleh sebagian besar masyarakat modern, masih menyimpan daya tarik tersendiri bagi mereka yang tergoda janji kekayaan instan. MU, seorang kepala sekolah yang seharusnya menjadi simbol akal sehat dan pendidikan, justru terseret ke dalam jerat dunia mistis demi mimpi harta yang tak kunjung datang.
Sementara itu, WH, dukun muda yang mungkin merasa tertekan oleh ekspektasi dan tuntutan dari klien-kliennya, akhirnya memilih jalan kekerasan saat harga dirinya dihancurkan oleh hinaan.
Kini, WH telah ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian. Ia dijerat dengan pasal pembunuhan berencana yang bisa membuatnya menghabiskan sisa hidup di balik jeruji besi.
Refleksi: Saat Nalar Kalah oleh Nafsu Duniawi
Tragedi ini menjadi tamparan keras bagi masyarakat. Ketika logika dan moralitas dikalahkan oleh hasrat akan kekayaan, maka batas antara hidup dan mati bisa hilang sekejap. Ritual yang seharusnya dianggap sebagai bagian dari budaya masa lalu, nyatanya masih menjadi pilihan jalan pintas bagi sebagian orang yang tak sabar menghadapi realitas hidup.
Kematian MU bukan sekadar kisah kriminal. Ia adalah potret buram dari mentalitas yang terperangkap antara keputusasaan, mistisisme, dan ego manusia. Dan dalam kasus ini, harga dari keserakahan dan penghinaan adalah satu nyawa melayang dan satu lagi hancur dalam jeruji.
(*)
#Pesugihan #Pembunuhan #Kriminal