Breaking News

Gaza Dikepung Kelaparan: Tangisan Anak-Anak dan Jeritan Rumah Sakit yang Nyaris Lumpuh

Warga Palestina berkumpul untuk menerima makanan yang dimasak oleh dapur amal di Beit Lahia, Jalur Gaza utara, Kamis (24/4/2025). Foto: Mahmoud Issa/REUTERS

D'On, Gaza
Di tengah puing-puing bangunan yang hancur dan langit yang masih menggelegar oleh dentuman bom, Gaza kini dilanda bencana lain yang tak kalah mematikan: kelaparan. Setidaknya 57 warga Palestina dilaporkan meninggal dunia karena kekurangan makanan dan air bersih sejak Israel memberlakukan blokade total atas Jalur Gaza pada awal Maret lalu, demikian laporan terbaru dari Al Jazeera pada Sabtu (3/5).

Blokade yang diterapkan Israel bukan sekadar pembatasan logistik, tetapi pemutusan total akses terhadap kebutuhan dasar manusia makanan, air, dan bantuan medis. Sebagian besar korban kelaparan adalah mereka yang paling rentan: anak-anak, lansia, dan pasien yang bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.

Salah satu potret pilu dari krisis ini adalah kematian Janan Saleh al-Sakafi, seorang bayi perempuan yang mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Rantisi karena gizi buruk dan dehidrasi. Janan bukan sekadar angka statistik; ia adalah simbol bisu dari penderitaan yang kini menyelimuti Gaza.

“Kelaparan telah dijadikan senjata perang,” tegas kantor media pemerintah Gaza, menyerukan tekanan global untuk menghentikan kekejaman ini. Mereka mendesak agar perbatasan segera dibuka dan aliran bantuan kemanusiaan dipulihkan.

Namun di perbatasan Rafah, sisi Mesir, ratusan truk bantuan kemanusiaan masih tertahan tanpa kejelasan. Deretan truk itu mengular hingga kota Arish, sekitar 45 kilometer dari Gaza, membawa makanan, obat-obatan, dan air bersih yang sangat dibutuhkan. Tetapi tak satu pun dari mereka berhasil menembus blokade yang mencekik kehidupan di dalam wilayah itu.

Di tengah kekurangan ekstrem, pemandangan memilukan menjadi keseharian. Anak-anak terlihat mengais makanan dari tumpukan sampah, berusaha mencari apa pun yang bisa dimakan agar bisa bertahan satu hari lagi.

“Menemukan satu makanan pun telah menjadi pencarian yang mustahil,” ujar Ahmad al-Najjar, seorang pengungsi asal Gaza kepada Al Jazeera. Kesaksiannya menggambarkan bagaimana hidup telah berubah menjadi pertarungan harian untuk bertahan.

Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejak awal tahun 2024, lebih dari 9.000 anak-anak telah dirawat karena kekurangan gizi akut. Organisasi bantuan internasional yang sebelumnya menjadi andalan suplai logistik kini terpaksa menutup operasinya karena kehabisan pasokan.

Kondisi layanan kesehatan pun tidak lebih baik. Di Rafah, direktur Rumah Sakit Kuwait, Suhaib al-Hams, memperingatkan bahwa persediaan medis hanya cukup untuk satu minggu ke depan. Lebih dari 75 persen obat-obatan esensial telah habis. “Pasien perlahan-lahan meninggal setiap hari tanpa perawatan,” ucapnya, suaranya tenggelam dalam keputusasaan.

Sementara itu, bom dan peluru tak henti-hentinya menghujani Gaza. Dalam dua hari terakhir saja, sedikitnya 70 warga Palestina tewas dan 275 lainnya luka-luka akibat serangan militer Israel, menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza. Di Khan Younis, dua perempuan menjadi korban serangan udara. Seorang nelayan juga tewas akibat tembakan dari kapal perang Israel di lepas pantai Gaza. Di al-Mawasi, wilayah yang sebelumnya dijanjikan sebagai “zona aman”, dua warga sipil tewas akibat serangan drone.

Sejak 7 Oktober 2023, konflik ini telah merenggut nyawa setidaknya 52.495 orang dan melukai lebih dari 118.000 lainnya. Ribuan masih tertimbun di bawah reruntuhan, nasib mereka tak diketahui.

Hari ini, Gaza bukan hanya medan perang, melainkan ladang kematian yang ditanam dengan kelaparan dan penderitaan sistematis. Dunia tengah menyaksikan dan sebagian memilih bungkam ketika satu generasi terancam punah bukan oleh peluru, melainkan oleh kelaparan yang disengaja.

Sumber: Al Jazeera 

#Israel #Gaza #Internasional