Breaking News

Biografi Adam Malik, Eks Jurnalis yang Sukses Jadi Wakil Presiden

Dirgantaraonline.co.id,- Wakil Presiden Republik Indonesia, Adam Malik Batubara, lahir di Pematangsiantar, Sumatra Utara 22 Juli 1917. Tak banyak yang tahu perjalanan hidupnya semasa menjadi tahanan Belanda, jurnalis, diplomat, hingga Wakil Presiden. Berikut biografi Adam Malik, eks jurnalis yang sukses jadi wakil presiden.

Adam yang hidup di tiga zaman, Belanda, Jepang dan Indonesia merdeka itu, terlahir di dari sebuah keluarga yang berkecukupan. Orangtua-nya pedagang sukses dan cukup kaya di Pematangsiantar.

Hidup dalam keadaan berada, tak membuat Adam terlena dalam kenikmatan. Ia tetap memelihara jiwa pemberontak dari ketidakadilan. Melihat kepahitan hidup pekerja perkebunan Sumatra yang datang ke toko ayahnya untuk membeli kebutuhan pokok membuat Adam sadar tentang arti merdeka bagi manusia dan bangsanya.

Melihat ketidakadilan yang dia hadapi di depan mata, Adam kerap mengkhayal sebagai ?"Adam dari Andalas", seorang maharaja dari Pematangsiantar yang memiliki makanan, pakaian, dan perumahan berlimpah untuk rakyatnya.

1. Muhammadiyah Hizbul Wathan jadi kendaraan politik pertama Adam Malik

Hal tersebut yang melandaskannya untuk bergerak untuk menciptakan efek luas dengan cara politik dan akhirnya bergabung ke sebuah organisasi kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan, satu-satunya organisasi semipolitik yang ada di Pematangsiantar saat itu.

Tak hanya bergabung di Muhammadiyah Hizbul Wathan, Adam juga mendirikan 
Indonesia Muda cabang Pematangsiantar, yang berpusat di Batavia (kini Jakarta), dan mengampanyekan Sumpah Pemuda.

Cukup dengan pengalamannya berorganisasinya, Adam pun mendirikan 
Partai Indonesia (Partindo) cabang Pematangsiantar, partai politik terbesar saat itu.

2. Dari jurnalis lalu menjadi tahanan Belanda

Aktivitas politik Adam itu kemudian membawanya berhubungan dengan dunia jurnalistik. Tulisan-tulisan Adam pertama kali dimuat di harian Pelita Andalas asuhan Djauhari Salim dan Hamid Lubis, selain dalam majalah Partindo yang tersebar di pelosok Sumatra.

Partindo juga membawa Adam mengenal tokoh-tokoh pergerakan di Batavia seperti Soekarno, Mohammad Yamin, dan Amir Syarifuddin.

Tak senang dengan Patrindo yang digagas Adam Malik, pemerintah kolonial Belanda akhirnya membubarkan Pertindo. Selepas pembubaran itu, Adam hijrah ke Batavia demi mematangkan cita-cita politiknya. Satu-satunya kenalan Adam di Batavia adalah bekas anggota Partindo bernama Yahya Nasution.

Rupanya gerak-gerik Yahya sebagai seorang agitator dalam Partai Republik Indonesia (Pari) membuat Adan Malik turut diintai oleh polisi pengintai Belanda.

Ketika Belanda mulai menangkap siapa saja yang menjadi anggota Pari pada 1935, Adam ikut ditangkap ketika sedang berada di Pasar Senen dan ditahan selama satu tahun di Penjara Struiswijk.

3. Mendirikan Kantor Berita ANTARA

Di penjara Struiswijk, Adam berkenalan dengan Pandoe Kartawigoena, aktivis pemuda Republik Indonesia. Persahabatan dengan Pandoe itu kemudian membawa Adam menorehkan sejarah penting bagi hidup dan perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan, yaitu mendirikan Kantor Berita ANTARA, yang masih ada hingga kini.

Adam dan Pandu kemudian dibebaskan pada 1936. Mei 1937, partai antifasis Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) mempertemukan mereka dengan dua sekawan Soemanang dan Albert Sipahoetar.

Dalam buku berjudul "80" yang diterbitkan Perum LKBN ANTARA untuk memperingati 10 windu kantor berita tersebut, disebutkan keempat pemuda itu kemudian sepakat mendirikan sebuah kantor berita atas usulan Soemanang.

"Saya bersemangat lagi, penuh antusias, dan optimisme. Usia saya waktu itu baru 20 tahun dan memang sedang radikal-radikalnya," kata Adam di buku tersebut.

Kantor Berita ANTARA pun akhirnya didirikan. Soemanang, yang paling tua dan berpengalaman, menjadi pemimpin umum dengan Adam Malik sebagai wakilnya. Pemimpin redaksi dipegang Albert Sipahoetar dengan Pandoe Kartawigoena sebagai wakilnya. Saat itu, mereka berempat belum ada yang berusia 30 tahun.

Kantor Berita ANTARA terus berkembang dengan segala dinamikanya. Termasuk ketika Jepang masuk ke Indonesia, dan mengambil alih serta menggantinya dengan nama Yashima, kemudian Domei.

Ketika ANTARA dikuasai Jepang, para pekerjanya termasuk Adam Malik tetap bekerja seperti biasanya, tetapi tetap bergerak di bawah tanah untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Adam Malik pun terlibat ketika para pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, yang puncaknya dengan membawa kedua tokoh itu ke Rengasdengklok.

Peran penting Adam dalam menyiarkan berita proklamasi terjadi ketika dia sudah mengantongi naskah proklamasi, kemudian menelepon Asa Bafagih di kantor ANTARA untuk membacakan naskah proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.

4. Menjadi diplomat ulung saat mempererat hubungan Indonesia-Malaysia, lantas menjadi Wakil Presiden

Sebelum menjabat sebagai Wakil Presiden, Adam pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan ikut membidani pendirian Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).

Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Deplu, Primo Alui Joelianto, mengatakan bahwa Adam Malik adalah tokoh nasional yang memiliki komitmen tinggi untuk memperkuat dan memajukan hubungan kerja sama Indonesia dan Malaysia.

Melalui Adam, pada 11 Agustus 1966, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia menandatangani Perjanjian Normalisasi Hubungan Diplomatik kedua negara yang terputus akibat konfrontasi selama lebih kurang tiga tahun.

Pada acara pembukaan Annual Lecture dengan tema "Mengenang Tokoh Diplomasi Adam Malik Apresiasi Perjalanan 50 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Malaysia", diceritakan bahwa sumbangsih Adam yang tidak ternilai dalam mempererat hubungan kerja sama Indonesia-Malaysia, Pemerintah Malaysia telah memberikan gelar tertinggi dalam sistem Monarki Konstitutisional Malaysia kepada almarhum Adam Malik.

Maret 1978, Adam Malik menjadi Wakil Presiden ketiga dalam sejarah Republik Indonesia. Ia dipilih oleh Presiden Soeharto setelah belia terpilih untuk kali ketiga sebagai Presiden Republik Indonesia. Semasa menjadi Wakil Presiden, naluri kritis Adam Malik nyatanya tak luntur ditelan rezim.

Beberapa kali, Adam Malik mengkritisi kebijakan pemerintah. Pada 1979, ia mengkritik rezim Soeharto yang disebutnya sudah melanggar Undang-Undang 1945. Dua tahun berselang, tepatnya pada tahun 1981, Adam Malik kembali mengkritik Soeharto yang ia sebutnya sebagai "epidemik", merujuk pada kentalnya aura korupsi di rezim Orde Baru.

Pada 1983, Adam Malik kemudian digantikan oleh Umar Wirahadikusumah.

5. Adam Malik wafat di Bandung karena kanker hati

Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H. Adam Malik meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker hati. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kemudian, istri dan anak-anaknya mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik.

Pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan. Atas jasa-jasanya, Adam Malik dianugerahi berbagai macam penghargaan, di antaranya adalah Bintang Mahaputera kl. IV pada tahun 1971, Bintang Adhi Perdana kl.II pada tahun 1973, dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998.

(IDN/mond)