Breaking News

Tiga Pabrik Baja di RI Tutup, Ternyata Ini Penyebabnya


D'On, Jakarta,- Industri baja sebagai industri strategis sedang 'sakit', serbuan baja impor masih susah dibendung dan berdampak pada nasib beberapa pabrik. Utilisasi atau tingkat produksi dari kapasitas terpasang pabrik baja hanya bisa mencapai 30-60%, tentu sulit untuk mendapatkan keuntungan. Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) mencatat ada tiga pabrik baja yang memutuskan tutup dan ancaman PHK tak bisa dihindari.

"Ada 3 perusahaan berhenti. Coated sheet 1 memberhentikan, 3 mengurangi kapasitas. Yang peningkatan kapasitas tadi, juga mengerem. Dengan utilisasi rendah di Indonesia, untuk apa investasi di Indonesia," Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Yerry Idroes katanya dilansir dari CNBC Indonesia.

Ketua Umum The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim yang juga Dirut PT Krakatau Steel Tbk dalam paparannya yang berjudul "Strategi Industri Baja untuk Menjadi Bagian dari Value Chain Industri Otomotif Nasional" mengungkapkan ada masalah-masalah krusial pada industri baja di dalam negeri, saat ini.

Pertama, Permendag No 110 tahun 2018 tentang ketentuan impor besi baja dan baja panduan dan produk turunannya, yang sebelumnya diatur pada Permendag No 22 tahun 2018, yang menyebabkan penghapusan pertimbangan teknis sebelum impor baja. Hal ini menyebabkan impor baja semakin mudah dan tidak ada sistem kontrol izin impor.

Kedua, praktik menghindari terutama dalam impor baja, antara lain praktik pengalihan pos tarif impor (HS Code) baja karbon menjadi paduan. Selain itu, baja karbon untuk konstruksi dialihkan menjadi baja paduan dengan harga yang lebih murah dari baja karbon.

Harga baja paduan impor dari China sangat murah karena mendapatkan keunggulan tax rebate atau insentif bagi para eksportir sebesar 9%-13%. Negara pemasok baja impor khususnya China terhindari dari bea masuk anti dumping 20% karena ada perdagangan bebas ASEAN-China atau ACFTA.

Ketiga, kebijakan Trump yang memicu perang dagang membuat produk-produk baja impor China yang biasa masuk Amerika Serikat (AS) tak bisa masuk lagi, sehingga ada pengalihan pasar ke Asia Tenggara.

Keempat, hadirnya perdagangan bebas, membuat bea masuk umum atau most favoured Nation (MFN) untuk produk baja telah diturunkan dan sampai 0%.
Bukti terpuruknya industri baja dapat terlihat jelas dari di atas kertas data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri manufaktur pada kuartal III-2019 tumbuh melambat, dan paling parah adalah industri baja.

Industri barang logam bukan mesin dan peralatannya mengalami penurunan paling dalam, yakni 22,95% secara tahunan (yoy). Disusul oleh industri karet, barang dari karet dan plastik yang turun 16,63% (yoy).
"Untuk industri yang paling tertekan kita lihat ada industri barang logam bukan mesin dan peralatannya (baja). Ini industri yang turun perlu mendapat perhatian lebih lanjut," kata Kepala BPS Suhariyanto dikutip, Selasa (5/11) silam.

Industri barang logam bukan mesin dan peralatannya antara lain: barang dari logam siap Pasang untuk konstruksi, barang dari Kawat, konstruksi berat siap pasang dari baja, paku, mur dan baut, alat potong dan perkakas tangan pertukangan, peralatan dapur dan peralatan meja dari logam, barang dari logam aluminium siap pasang untuk konstruksi, senjata dan amunisi dan lainnya.

Dari masalah-masalah yang dihadapi industri baja terutama karena serbuan baja impor, IISIA mengusulkan, antara lain:
Moratorium/pengendalian khusus impor baja paduan dari RRT.

Pemberian izin impor baja paduan harus dipastikan penggunaan / end use nya bukan untuk konstruksi.

Penggunaan instrument trade remedies yang lebih masif (anti dumping, anti subsidi, safeguard) sebagaimana dilakukan oleh industri baja di luar negeri.

Peninjauan ulang (review) perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) terkait dengan produk baja karena FTA tersebut telah memukul industri baja domestik.

Kewajiban penggunaan produk baja domestik untuk Proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dengan menggunakan dana APBN/APBD & Proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh BUMN dan BUMD.

Source: CNBC